Haruskah Rumah Tuhan di Bakar

Pagi itu tepatnya 06.00 kami para perwakilan dari masing-masing wilayah di Jabodetabek berkumpul dikediaman alm. Gusdur untuk pergi life in di Kuningan dalam rangka menganalisa kasus keyakinan yang ada di Desa Manislor dan Sunda Wiwitan.

Hangat sekali sambutan warga di Kuningan sana, aku terbuai dengan keramah tamahan yang terbingkai dalam ke Bhinekaan yang mereka berikan. Satu minggu aku disana dan setiap waktuku seolah penuh dengan warna, pentungan-pentungan disetiap tiang listrik besi itu menjadi saksi betapa carut marutnya keadaan disana sebelumnya. Semua seakan was-was terhadap satu dengan yang lainnya, penyegelan-penyegelan tempat ibadah serta pembakaran yang dilakukan membuat anak-anak Desa menjadi takut dan trauma terhadap orang dan lingkungannya sendiri. 

Hari itu saya harus menjadi anak asuh salah satu penduduk Ahmadiyah, kehangatan yang sangat luar biasa saya dapatkan hingga waktu saya harus kembali ke Jakarta tiba-tiba adik asuh saya yang seorang down syndrome yang luar biasa bercerita bagaimana saat itu iya tidak dapat sekolah, ribuan orang berkumpul dijalan dan saling menjaga, saat itu wanitalah yang menjadi poros terdepan dengan harapan mereka yang berkuasa tidak akan tega mencedrai wanita.

Anganku langsung membayangkan kejadian beberapa tahun lalu, memposisikan diriku ada didalam lingkaran tersebut, diteriaki, diawasi oleh orang-orang bersenjata lengkap, lalu menjadi saksi tempat ibadahku dibakar.

Dokumentasi pribadi yang diambil saat Life In

Ka, jika memang berbeda lalu apa kami salah meyakini apa yang kami yakini?
Haruskah rumah Tuhan di bakar?
Kakak jangan diam? "sambil merajuk setengah menarik jilbabku yang terdiam sedari tadi.

https://nasional.tempo.co/read/266946/hujan-batu-warnai-penyegelan-masjid-ahmadiyah-di-manis-lor/full&view=ok



Aku bersyukur pada saat yang bersamaan ibu asuhku memanggil untuk makan siang, walaupun sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan tapi aku tidak sampai hati untuk mengingatkan mereka tentang hari itu, hari yang membuat mereka trauma hingga saat ini setiap kali mendengar suara kelonteng dari tiang-tiang listrik.

Untukku,
tak ada satupun alasan untuk berlaku anarki terhadap orang lain.
Jika masih bisa duduk berdampingan, kenapa harus ada parang ditangan?
Percayalah semua agama mencintai kedamaian.


Bersambung


Komentar

Posting Komentar