Kesejahteraan Buruh Migran



Terkadang pilihan bekerja di luar negeri memang sering kali menjadi alternatif pilihan dimana seseorang akan berpikir bahwa upah minimum yang diterima sebagai buruh migran jauh lebih besar dibanding menjadi buruh di negara sendiri. Kurangnya lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah penduduk produktif yang tinggi serta sertivikasi pendidikan yang minimal lulus SMA mengharuskan mereka yang cendrung berpendidikan minim menjadi termotivasi untuk menjadi buruh migran khususnya di negara-negara tetangga dan bekerja sebagai apa saja seperti buruh kelapa sawit, pembantu rumah tangga, pelayan resto, dll. Tercatat pada tahun 2014 ada sekitar 1.94 juta jiwa tenaga kerja Indonesia di Malaysia (Data statistik BNP2TKI), mirisnya data tersebut belum termasuk mereka yang berangkat secara ilegal.
Upah yang besar seakan menghapus pemikiran mengenai risiko-risiko yang akan dihadapi selama menjadi buruh migran. Perbedaan bahasa, budaya, serta hukum yang diterapkan di negara tujuan seolah bukan masalah dan hambatan. Namun minimnya pengetahuan dan ketidak siapan skill untuk menjadi seorang buruh migran menjadi permasalahan yang serius. Apalagi jika mengingat bahwa 2015 ini ASEAN Free Trade Area (AFTA) akan dibuka, yang memang merupakan kesepakatan dari negara–negara di ASEAN untuk membentuk sebuah kawasan bebas perdagangan, dimana para tenaga kerja luar akan bebas masuk dan keluar di negara-negara ASEAN dengan beragam kesiapan skill yang dimiliki dan tentunya beragam.
Di dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 2004, Pasal 77 ayat (2) tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Mengacu pada peraturan tersebut sudah seharusnya lembaga-lembaga yang melakukan prekrutan harus bertanggung jawab dari pra keberangkatan hingga pasca bekerja. Semua harus terlaksana dengan baik, mulai dari pelatihan bahasa, pelatihan skill dan bagaimana cara menyikapi permasalahan dalam dunia pekerjaan.
Melihat banyaknya kasus kekerasan yang diterima oleh para buruh migran mulai dari kasus kekerasan fisik dan psikis, pemberian gaji buruh yang ditahan, bahkan pelecehan seksual yang menimpa beberapa tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang justru pelecehan tersebut dilakukan oleh beberapa oknum polisi yang memang mengerti hukum dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi.
 Kesejahteraan buruh migran di luar negeri harus terjamin, mulai dari sarana penunjang, jaminan kesehatan, dan jaminan perlindungan. Semua harus terjamin karena bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia.
Mengontrol setiap keadaan buruh, membuat komunitas buruh migran, melakukan pendekatan preventif dan kuratif, serta melakukan pendampingan pekerja buruh. Itu semua bisa dijadikan solusi untuk pemerintah Indonesia di Malaysia agar para tenaga kerja Indonesia yang berada diluar berani menyampaikan pemikiran, berani berbicara apa yang dirasakan selama bekerja sehingga jika ada perlakuan yang tidak baik dapat segera diatasi. Tidak harus melulu hukum yang bicara hingga berdampak pada hubungan luar dan dalam negeri.
Setiap individu harus menerima perlakuan adil baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hak dan kewajiban perorangan harus tetap terjaga dan seimbang sehingga tak ada yang merasa dirugikan.

Komentar